Nama
lengkap beliau adalah Abdul Hamid Khan ke-2 bin Abdul Majid Khan. Ia adalah
putera Sultan Abdul Majid (dari istri kedua). Ibunya meninggal ketika beliau
berusia 7 tahun. Ia adalah Sultan (Khalifah) ke-27 yang memerintah Daulah
Khilafah Islamiyah Turki Utsmani. Abdul-Hamid menggantikan saudaranya Sultan
Murad V pada 31 Agustus 1876.
Pada
1909 Sultan Abdul-Hamid II dicopot kekuasaannya melalui kudeta militer,
sekaligus memaksanya untuk mengumumkan sistem pemerintahan perwakilan dan
membentuk parlemen untuk yang kedua kalinya. Ia diasingkan ke Tesalonika,
Yunani. Selama Perang Dunia I, ia dipindahkan ke Istana Belarbe. Pada 10
Februari 1918, Sultan Abdul-Hamid II meninggal tanpa bisa menyaksikan runtuhnya
institusi Negara Khilafah (1924), suatu peristiwa yang dihindari terjadi di
masa pemerintahannya.
Sultan
Abdul Hamid sangat pandai berbicara bahasa Turki, Arab dan Farsi. Ia juga
mempelajari beberapa buku tentang sastra dan puisi. Ketika ayahnya, Abdul Majid
meninggal, pamannya, Abdul Aziz menggantikan menjadi Sultan (Khalifah). Namun
Abdul Aziz tak lama sebagai Sultan. Ia dipaksa turun dari tahta dan kemudian
dibunuh oleh musuh politik pemerintah Utsmaniyyah. Ia diganti oleh Sultan
Murad, anak lelakinya, tetapi beliau juga diturunkan dari tahta dalam waktu
yang singkat karena tidak mampu memerintah.
Pada
31 Agustus 1876 (1293H) Sultan Abdul Hamid dilantik menjadi Sultan dengan
disertai bai'ah oleh umat Islam. Ia berusia 34 tahun ketika itu. Sultan Abdul
Hamid menyadari, sebagaimana yang beliau nukilkan dalam catatan hariannya,
bahwa ketika pembunuhan pamannya, dan juga perubahan kepemimpinan yang cepat
adalah merupakan satu konspirasi untuk menjatuhkan pemerintahan Islam.
Pribadi
Sultan Abdul Hamid telah dikaji hebat oleh Orietalis Barat. Ia pemimpin sebuah negara
yang sangat besar yang ketika itu dalam kondisi sekarat dan tegang. Ia
menghabiskan lebih 30 tahun dengan konspirasi internal dan eksternal,
peperangan, revolusi dan perubahan yang tidak berhenti.
- Wibawa Sultan Abdul Hamid II di Mata Dunia
Meskipun Inggris dan Prancis sejak lama lagi ingin
menghancurkan Daulah Utsmaniyah, tetapi istilah 'Jihad'- masih cukup berdaya
untuk menjadikan Eropa menggeletar. Eropa masih takut terhadap "Orang
Sakit Eropa", julukan bagi Daulah Utsmaniyah.
Di Prancis, misalnya, pernah ada rencana pementasan
teater yang diadaptasi dari karya Voltaire. Drama itu bertema "Muhammad
atau Kefanatikan" yang isinya mencaci Rasulullah. Di samping itu juga
menghina putra angkat beliau Zaid bin Haritsah serta istrinya Zainab—yang
setelah bercerai dinikahi oleh Rasulullah.
Setelah mengetahui berita tentang rencana pementasan
tersebut, Sultan Abdul Hamid II memperingatkan pemerintah Prancis melalui duta
besarnya di Paris agar menghentikan pementasan drama itu dan mengingatkan akan
dampak politik yang bakal dihadapi Prancis jika pementasan tersebut nekat
dilanjutkan. Prancis pun serta-merta membatalkannya.
Grup teater itu pun datang ke Inggris untuk
melanjutkan pementasan serupa dan sekali lagi Sultan memperingatkan Inggris.
Kali ini Inggris menolak peringatan tersebut dengan alasan tiket-tiket telah
dijual dan pembatalan drama bertentangan dengan prinsip kebebasan rakyatnya.
Perwakilan Turki Utsmani di Inggris pun menyatakan ke Pemerintah Inggris bahwa
meskipun Prancis mempraktikkan "kebebasan", tetapi mereka telah
melarang pementasan drama tersebut. Namun, Inggris berkilah bahwa kebebasan
yang dinikmati oleh rakyatnya jauh lebih baik dari apa yang dinikmati oleh
Prancis.
Setelah mendengar jawaban itu, Sultan Abdul Hamid II
sekali lagi memperingatkan, "Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat
Islam dengan menyatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah
kami! Saya akan menyatakan jihad fisabilillah, jihad al-akbar (perang maha
besar)." Mendapat gertakan ini, Inggris dengan segera melupakan klaim
"kebebasan berekspresi"nya, dan pementasan teater itu pun dibatalkan.
Tidak cukup sampai di situ, Sultan6 pun memanggil
seluruh duta negara-negara Eropa yang ada di Daulah Khilafah Utsmaniyyah.
Ketika mereka datang, sang khalifah membiarkan mereka menunggu berjam-jam di
depan pintu kekhilafahan. Kemudian Sultan datang menemui mereka dengan
berpakaian militer sambil menjinjing sepatu, lalu dengan penuh wibawa dan nada
mengancam, ia berkata kepada mereka: "la in lam tantahi faronsa 'an fi'latiha,
la anta'ilannaha bi jaisyil khilafah, kama anta'ilu hadzal hidza biyadii,
fahkhrijuu qobbahakumullah" Artinya: "Seandainya Prancis tidak
menghentikan tindakannya (pementasan drama yang menghina Rasulullah), niscaya
aku kerahkan pasukan khilafah yang dengannya aku perlakukan mereka seperti
sepatu yang ada ditanganku ini. Maka pergilah, semoga Allah SWT menimpakan
keburukan kepada kalian".
Para duta itu pun segera menyampaikan kepada para pemimpin mereka, apa yang
mereka dengar dan mereka saksikan dari sang khalifah. Terkejut mendengar acaman
di atas, Ratu Inggris yang ketika itu sedang hamil, keguguran janinnya.
Betapa tidak, ancaman tegas tampak dalam ucapan sang Sultan. Al-inti'al artinya
adalah Lubs an na'l (mengenakan sepatu). Dikatakan, inta'ala al-ardha, artinya
saafara 'alaiha (berjalan di atasnya), atau wathi'aha (menginjakkan kaki di
atasnya). Selain itu, sang Sultan tidak memandang bahwa tindakan penghinaan
tadi, seandainyaa pementasan drama itu benar-benar terlaksana, hanya ulah salah
seorang warga Prancis, tetapi ia menganggapnya sebagai kebiadaban yang
dilakukan oleh institusi negara. Sehingga dengan perkataannya itu, tak ada
ssatu negara pun yang bisa beralasan bahwa itu hanyalah tindakan makar
warganya, apalagi berlindung di balik alasan kebebasan. Tak heran berselang
tiga tahun setelah itu, yakni pada tahun 1893, ketika tersiar berita bahwa di
Roma-Italia akan digelar sebuah pementasan drama berjudul "Muhammad
at-Tsaniy". Pemerintah Italia langsung membatalkan rencana tersebut.
Jadi, meskipun Daulah Utsmaniyah berada dalam
kondisi sekarat, namun Sultan Abdul Hamid II masih dihormati di kancah
internasional, dan kata "jihad" mengintimidasi kekuatan besar Barat.
Inilah intervensinya dalam rangka melindungi kepentingan umat Islam dalam urusan
global. (Buletin Khilafah No. 15, 23 Juni 1989, Inggris dan Ar-Rayyah, Vol. 3,
Ed. 4, April 1994).
Kehebatan Abdul Hamid diakui sendiri oleh penguasa
Eropa seperti Raja Jerman Wilhelm II. Dia pernah berkata, "Aku telah
menemui banyak raja dan penguasa sepanjang hidupku. Aku temukan mereka semua
lebih lemah jika dibandingkan denganku, atau yang terkuat sekalipun adalah yang
sebanding denganku. Namun, jika berhadapan dengan Abdul Hamid, aku merasa
gentar." Wilhelm II memang pernah mengunjungi Abdul Hamid pada tahun 1898.
- Konspirasi Yahudi
Akibat dari peperangan
di balkan, Bosnia dan Yunani telah dirampas dari Pemerintah Islam. Setelah
kekalahan tersebut, barulah Sultan Abdul Hamid bisa mendapatkan dukungan umum
dalam memecat Awni. Pengadilan menemukan Awni bersalah karena berkonspirasi
menjatuh pemerintah dan membantu kekuasaan asing seperti Inggris.
Kejatuhan ini membuat
semua pihak bersekongkol menjatuhkan Sultan, termasuk pihak Yahudi. Pada tahun
1901, seorang pemilik Bank Yahudi, Mizray Qraow dan 2 lagi pemimpin Yahudi
berpengaruh mengunjungi Sultan Abdul Hamid dengan membawa penawaran:
Pertama, membayar semua
hutang Pemerintahan Islam Utsmaniyyah. Kedua, membangun Angkatan Laut
Pemerintahan Islam Utsmaniyyah3) 35 Juta Lira Emas tanpa bunga untuk membantu
perkembangan Negara Islam Utsmaniyyah. Tawaran ini sebagai ganti jika,
1) Menerima Yahudi
mengunjungi Palestina pada setiap saat yang mereka suka dan untuk tinggal
berapa lamapun yang mereka inginkan "mengunjungi tempa t-tempat
suci".
2) Yahudi diperbolehkan
membangun pemukiman di tempat mereka tinggal di Palestina dan mereka
menginginkan tempat yang letaknya dengan Baitul-Maqdis (al Quds)
Namun nampaknya Sultan
Abdul Hamid enggan bertemu mereka sekalipun, apalagi menerima penawaran
merreka. Ia mengirim utusan dan menjawab:
"Beritahu
Yahudi-yahudi yang tidak beradab itu bahwa hutang-hutang Pemerintah Utsmaniyyah
bukanlah sesuatu yang ingin dipermalukan, Prancis juga memiliki
hutang-hutangnya dan itu tidak memberikan efek apapun kepadanya. Baitul-Maqdis
menjadi bagian dari Bumi Islam ketika Umar ibn Al- Khattab mengambil kota itu
dan aku tidak akan sekali-kali menghina diriku dalam sejarah dengan menjual
Bumi suci ini kepada Yahudi dan aku tidak akan menodai tanggung-jawab dan
amanah yang diberikan oleh ummah ini kepadaku. Biarlah Yahudi-yahudi itu
menyimpan uang mereka, umat Islam Utsmaniyyah tidak akan bersembunyi di dalam
kota-kota yang dibangun dengan uang musuh-musuh Islam. "
Sungguh sikap seorang pemimpin Islam yang belum bisa ditemukan di dunia saat ini. Hatta, itu dari pemimpin negeri-negeri Muslim sekalipun.
Sungguh sikap seorang pemimpin Islam yang belum bisa ditemukan di dunia saat ini. Hatta, itu dari pemimpin negeri-negeri Muslim sekalipun.
- Jihad dan politik
‘adu-domba’
Yahudi tidak berputus
asa dengan kegagalan mempengaruhi Sultan Abdul Hamid. Pada akhir tahun yang
sama, 1901, pendiri gerakan Zionis, Theodor Herzl, mengunjungi Istanbul dan
mencoba bertemu dengan Sultan Abdul Hamid.
Namun Abdul Hamid
enggan bertemu Hertzl dan mengirim stafnya dan menasehati Hertzl dengan
mengatakan;
“Aku tidak dapat
memberikan walau sejengkal dari tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku,
ia adalah hak umat Islam. Umat Islam yang telah berjihad demi bumi ini dan
mereka telah membasahinya dengan darah-darah mereka. Yahudi bisa menyimpan uang
dan harta mereka. Jika Kekhalifahan Islam ini hancur pada suatu hari, mereka
dapat mengambil Palestina tanpa biaya! Tetapi selagi aku masih hidup, aku lebih
rela sebilah pedang merobek tubuhku daripada melihat bumix Palestina dikhianati
dan dipisahkan dari kehikhilafahan Islam. Perpisahaan tanah Palestina adalah
sesuatu yang tidak akan terjadi, Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami
selagi kami masih hidup.”
Bayangkan, pendirian
seorang pemimpin (Khalifah) ini disampaikan di saat-saat kekuasaannya sedang diambang
kehancuran. Bagaimana jika tindakannya itu terjadi di masa-masa beliau masih
kuat?
Kegagalan Yahudi merayu
Sultan Hamid, membuat mereka berkolaborasi dengan Nagara-negara Eropa. Yahudi
mendapatkan bantuan Inggris dan Prancis untuk mencapai impian mereka. Semenjak
itu, Negara seperti Inggris dan Prancis bersiap menghancurkan pemerintah Islam
Utsmaniyyah. Tetapi kata “jihad” masih tetap ditakuti dan membuat seluruh Eropa
bergetar.
Maka Inggris kala itu
memutuskan ide penggunakan kebijakan 'pecah belah’. Ini dilakukkan Inggris
dengan mulai memberi dukungan kelompok-kelompok baru seperti “Turki Muda” yang
dimotori oleh Mustafa Kemal Pasha. Kebodohan itu membuat umat tidak tahu lagi
mana kawan dan mana lawan. Alih-alih membela Sultan, ia malah terkecoh dan
bersekutu dengan penjajah, termasuk Zionis Yahudi yang telah ngebet ingin
mencaplok Palestina.
Akhirnya, malam 27
April 1909 Sultan kedatangan tamu tak diundang. Kedatangan mereka di Istana
Yildiz menjadi catatan sejarah yang tidak akan pernah terlupakan kaum Muslim
seluruh dunia. Perwakilan 240 anggota Parlemen Utsmaniyyah, yang mengaku
perwakilan kaum Muslim (di bawah tekanan Turki Muda) , ini sedang berusaha
menggulingkan Sultan Abdul Hamid II dari kekuasaannya. Senator Syeikh Hamdi
Afandi Mali bahkan mengeluarkan fatwa tentang penggulingan tersebut dan
akhirnya disetujui oleh anggota senat yang lain.
Di antara bunyi fatwa
Syeikh Hamdi adalah berikut;
"Jika pemimpin
umat Islam mengambil kiat-kiat agama yang penting dari kitab-kitab hukum dan
mengumpulkan kitab-kitab tersebut, memboroskan uang negara dan terlibat dengan
perjanjian yang bertentangan dengan hukum Islam, membunuh, menangkap, membuang
negeri dan rakyat tanpa alasan apapun, maka berjanjilah untuk tidak
melakukannya lagi dan jika masih kelakukannya untuk menyakitkan kondisi umat
Islam di seluruh dunia Islam maka pemimpin ini harus disingkirkan dari
jabatannya. Jika penyingkirannya akan membawa kondisi yang lebih baik dari
beliau terus kekal, maka ia memiliki pilihan apakah mengundurkan diri atau disingkirkan
dari jabatan."
Sebuah fatwa yang aneh
ditujukan pada seorang Sultan yang memiliki reputasi dan akhlaq yang baik.
Menariknya, empat
utusan parlemen; Emmanuel Carasso, seorang Yahudi warga Italia dan wakil rakyat
Salonika (Thessaloniki) di Parlemen Utsmaniyyah, melangkah masuk ke istana
Yildiz. Turut bersamanya adalah Aram Efendi, wakil rakyat Armenia, Laz Arif
Hikmet Pasha, anggota Dewan Senat yang juga panglima militer Utsmaniyyah, serta
Arnavut Esat Toptani, wakil rakyat daerah Daraj di Meclis-i Mebusan.
Mereka akhirnya
mengkudeta Sultan. “Negara telah memecat Anda!”
“Negara telah
memecatku, itu tidak masalah,… tapi kenapa kalian membawa serta Yahudi ini
masuk ke tempatku?” Spontan Sultan marah besar sambil menudingkan jarinya
kepada Emmanuel Carasso.
Sultan kenal betul
siapa Emmanuel Carasso itu. Dialah yang bersekongkol bersama Herzl ketika ingin
mendapatkan izin menempatkan Yahudi di Palestina.
Tempat Yahudi yang
kumuh
Malam itu, Sultan
bersama para anggota keluarganya yang hanya mengenakan pakaian yang menempel di
badan diangkut di tengah gelap gulita menuju ke Stasiun kereta api Sirkeci.
Mereka digusur pergi meninggalkan bumi Khilafah, ke istana kumuh milik Yahudi
di Salonika, tempat pengasingan negara sebelum seluruh khalifah dimusnahkan di
tangan musuh Allah.
Khalifah terakhir umat
Islam dan keluarganya itu dibuang ke Salonika, Yunani. Angin lesu bertiup
bersama gerimis salju di malam itu. Pohon-pohon yang tinggal rangka, seakan
turut sedih mengiringi tragedi memilukan itu.
Atas peristiwa ini,
Sultan Abdul Hamid II mengungkap kegundahan hatinya yang dituangkan dalam surat
kepada salah seorang gurunya Syeikh Mahmud Abu Shamad;
“…Saya meninggalkan
kekhalifahan bukan karena suatu sebab tertentu, melainkan karena tipu daya
dengan berbagai tekanan dan ancaman dari para tokoh organisasi yang dikenal
dengan sebutan Cun Turk (Jeune Turk), sehingga dengan berat hati dan terpaksa
saya meninggalkan kekhalifahan itu. Sebelumnya, organisasi ini telah mendesak
saya berulang-ulang agar menyetujui dibentuknya sebuah negara nasional bagi
bangsa Yahudi di Palestina. Saya tetap tidak menyetujui permohonan beruntun dan
bertubi-tubi yang memalukan ini. Akhirnya mereka menjanjikan uang sebesar 150
juta pounsterling emas.
Saya tetap dengan tegas
menolak tawaran itu. Saya menjawab dengan mengatakan, “Seandainya kalian
membayar dengan seluruh isi bumi ini, aku tidak akan menerima tawaran itu. Tiga
puluh tahun lebih aku hidup mengabdi kepada kaum Muslimin dan kepada Islam itu
sendiri. Aku tidak akan mencoreng lembaran sejarah Islam yang telah dirintis
oleh nenek moyangku, para Sultan dan Khalifah Uthmaniah. Sekali lagi aku tidak
akan menerima tawaran kalian.”
Setelah mendengar dan
mengetahui sikap dari jawaban saya itu, mereka dengan kekuatan gerakan
rahasianya memaksa saya menanggalkan kekhalifahan, dan mengancam akan
mengasingkan saya di Salonika. Maka terpaksa saya menerima keputusan itu
daripada menyetujui permintaan mereka.
Saya banyak bersyukur
kepada Allah, karena saya menolak untuk mencoreng Daulah Uthmaniah, dan dunia
Islam pada umumnya dengan noda abadi yang diakibatkan oleh berdirinya negeri
Yahudi di tanah Palestina. Biarlah semua berlalu. Saya tidak bosan-bosan
mengulang rasa syukur kepada Allah Ta’ala, yang telah menyelamatkan kita dari
aib besar itu.
Saya rasa cukup di sini
apa yang perlu saya sampaikan dan sudilah Anda dan segenap ikhwan menerima
salam hormat saya. Guruku yang mulia. mungkin sudah terlalu banyak yang saya
sampaikan. Harapan saya, semoga Anda beserta jama’ah yang anda bina bisa
memaklumi semua itu.”
Dengan kerendahan hati,
ia menyebut namanya dalam menutup surat yang dikirim pada 22 September 1909 itu
dengan sebutan Abdul Hamid bin Abdul Majid, Pelayan Kaum Muslimin.
Setelah
penyingkirannya, penulis-penulis Barat bersekongkol “menyerang” Sultan Abdul
Hamid dan memberi legitimasi kudeta. Salah seorang dari mereka adalah John
Haslib, dalam bukunya "The Red Sultan" (telah diterjemahkan ke
beberapa bahasa termasuk bahasa Arab dan Turki), juga buku berbahasa Turki
"iki mevrin perde arkasi - yazan: nafiz Tansu" oleh Ararat Yayinevi
juga merupakan bagian dari propaganda seolah-olah 'Turki Muda' telah
menyelamatkan Kekhalifahan Utsmaniyyah dari kehancuran. Ada juga penulis
Arab-Kristen terkenal, Georgy Zaydan dalam bukunya, "Stories of the IslamicHistory-
The Ottoman Revolution."
Semua buku-buku ini adalah penipuan dan kedok yang ditulis para musuh Islam. Buku-buku ini menggambarkan, seolah-olah Sultan Abdul Hamid sebagai seorang yang tenggelam dalam kemewahan dunia dan identik dengan wanita dan minuman kera. Sultan yang sangat tegas pada Yahudi ini digambarkan sebagai sosok pemimpin pemerintah yang dzalim atas musuh-musuh politik dan rakyatnya. Tentusaja, penipuan-penipuan ini tak mungkin tertegak karena sosok Sultan yang akan selalu terbukti sepanjang sejarah.
Setelah Sultan Abdul
Hamid, muncullah beberapa pemimpin yang lemah. Mereka tidak mampu memerintah
dan hilang daya mereka dengan mudah. Seperti yang diperkirakan oleh Sultan
Abdul Hamid, Perang Dunia (PD) Pertama meletus dan bumi pemerintah Utsmaniyyah.
Orang-orang Arab melawan Khalifah di Hijaz dengan bantuan Inggris dan Prancis
untuk 'bebas' di bawah ini penjajahan 'penolong-penolong' mereka. Bumi Islam
Palestina akhirnya “diserahkan” kepada Yahudi.
'Turki Muda’
mengambil-alih kekuasaan dan Mustafa Kamal Ataturk membubarkan resmi Khilafah
Islam pada 1924. Pertama kalinya dalam sejarah umat Islam, kepemimpinan Islam
yang bersatu sejak zaman Rasulullah SAW dan para Sahabat hilang. Perang Salib
berakhir dengan kemenangan bagi Barat dan Yahudi.
Sultan Abdul Hami menghembuskan nafas terakhir dalam penjara Beylerbeyi pada 10 Februari1918. Kepergiannya diratapi seluruh penduduk Istanbul. Mereka baru sadar karena kebodohan mereka membiarkan Khilafah Utsmaniyyah dilumpuhkan setelah pencopotan jabatan khilafahnya.
Akibat kesalahan fatal
itu runtuhlah institusi yang menaungi kaum Muslim dan pada 1948 berdirilah
negara ilegal pembantai kaum Muslim Palestina, bernama Israel.
Mulai saat ini, janganlah umat lupa sejarah penting ini. Jangan pula lupa sejarah lainnya. Perang Bosnia, Perang Chechnya, Perang Kashmir, Perang Moro, Perang Iraq juga Perang Afganistan. Umat harus mulai sadar bahwa tanpa Islam yang miliki kekuatan, Islam bukan apa-apa. Tanpa kesatuan umat dan jihad, Islam hanya akan dipermainkan dan terus dalam kehinaan.
Mulai saat ini, janganlah umat lupa sejarah penting ini. Jangan pula lupa sejarah lainnya. Perang Bosnia, Perang Chechnya, Perang Kashmir, Perang Moro, Perang Iraq juga Perang Afganistan. Umat harus mulai sadar bahwa tanpa Islam yang miliki kekuatan, Islam bukan apa-apa. Tanpa kesatuan umat dan jihad, Islam hanya akan dipermainkan dan terus dalam kehinaan.
Marilah kita semua
berdoa, agar di antara kita bisa dilahirkan anak-anak yang kelak menjadi
pemimpin sekelas Sultan Abdul Hamid yang rela berdiri di tengah keagungan
seluruh ummah. Seperti sunnah alam, mentari mungkin telah terbenam sementara,
dan Insya-Allah akan segara terbit kembali. Seperti itulah sunnah kepemimpinan.
Suatu saat, Allah akan menghadirkan kembali kedatangan “Abdul Hamid II muda”
lain dari rahim kita