Sabtu, 24 September 2016

Sultan Abdul Hamid Khan (khalifah Terakhir Dari Daullah Turki Utsmani)


Nama lengkap beliau adalah Abdul Hamid Khan ke-2 bin Abdul Majid Khan. Ia adalah putera Sultan Abdul Majid (dari istri kedua). Ibunya meninggal ketika beliau berusia 7 tahun. Ia adalah Sultan (Khalifah) ke-27 yang memerintah Daulah Khilafah Islamiyah Turki Utsmani. Abdul-Hamid menggantikan saudaranya Sultan Murad V pada 31 Agustus 1876.

Pada 1909 Sultan Abdul-Hamid II dicopot kekuasaannya melalui kudeta militer, sekaligus memaksanya untuk mengumumkan sistem pemerintahan perwakilan dan membentuk parlemen untuk yang kedua kalinya. Ia diasingkan ke Tesalonika, Yunani. Selama Perang Dunia I, ia dipindahkan ke Istana Belarbe. Pada 10 Februari 1918, Sultan Abdul-Hamid II meninggal tanpa bisa menyaksikan runtuhnya institusi Negara Khilafah (1924), suatu peristiwa yang dihindari terjadi di masa pemerintahannya.

Sultan Abdul Hamid sangat pandai berbicara bahasa Turki, Arab dan Farsi. Ia juga mempelajari beberapa buku tentang sastra dan puisi. Ketika ayahnya, Abdul Majid meninggal, pamannya, Abdul Aziz menggantikan menjadi Sultan (Khalifah). Namun Abdul Aziz tak lama sebagai Sultan. Ia dipaksa turun dari tahta dan kemudian dibunuh oleh musuh politik pemerintah Utsmaniyyah. Ia diganti oleh Sultan Murad, anak lelakinya, tetapi beliau juga diturunkan dari tahta dalam waktu yang singkat karena tidak mampu memerintah.

Pada 31 Agustus 1876 (1293H) Sultan Abdul Hamid dilantik menjadi Sultan dengan disertai bai'ah oleh umat Islam. Ia berusia 34 tahun ketika itu. Sultan Abdul Hamid menyadari, sebagaimana yang beliau nukilkan dalam catatan hariannya, bahwa ketika pembunuhan pamannya, dan juga perubahan kepemimpinan yang cepat adalah merupakan satu konspirasi untuk menjatuhkan pemerintahan Islam.
Pribadi Sultan Abdul Hamid telah dikaji hebat oleh Orietalis Barat. Ia pemimpin sebuah negara yang sangat besar yang ketika itu dalam kondisi sekarat dan tegang. Ia menghabiskan lebih 30 tahun dengan konspirasi internal dan eksternal, peperangan, revolusi dan perubahan yang tidak berhenti.

- Wibawa Sultan Abdul Hamid II di Mata Dunia

Meskipun Inggris dan Prancis sejak lama lagi ingin menghancurkan Daulah Utsmaniyah, tetapi istilah 'Jihad'- masih cukup berdaya untuk menjadikan Eropa menggeletar. Eropa masih takut terhadap "Orang Sakit Eropa", julukan bagi Daulah Utsmaniyah.

Di Prancis, misalnya, pernah ada rencana pementasan teater yang diadaptasi dari karya Voltaire. Drama itu bertema "Muhammad atau Kefanatikan" yang isinya mencaci Rasulullah. Di samping itu juga menghina putra angkat beliau Zaid bin Haritsah serta istrinya Zainab—yang setelah bercerai dinikahi oleh Rasulullah.

Setelah mengetahui berita tentang rencana pementasan tersebut, Sultan Abdul Hamid II memperingatkan pemerintah Prancis melalui duta besarnya di Paris agar menghentikan pementasan drama itu dan mengingatkan akan dampak politik yang bakal dihadapi Prancis jika pementasan tersebut nekat dilanjutkan. Prancis pun serta-merta membatalkannya.

Grup teater itu pun datang ke Inggris untuk melanjutkan pementasan serupa dan sekali lagi Sultan memperingatkan Inggris. Kali ini Inggris menolak peringatan tersebut dengan alasan tiket-tiket telah dijual dan pembatalan drama bertentangan dengan prinsip kebebasan rakyatnya. Perwakilan Turki Utsmani di Inggris pun menyatakan ke Pemerintah Inggris bahwa meskipun Prancis mempraktikkan "kebebasan", tetapi mereka telah melarang pementasan drama tersebut. Namun, Inggris berkilah bahwa kebebasan yang dinikmati oleh rakyatnya jauh lebih baik dari apa yang dinikmati oleh Prancis.
Setelah mendengar jawaban itu, Sultan Abdul Hamid II sekali lagi memperingatkan, "Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan menyatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami! Saya akan menyatakan jihad fisabilillah, jihad al-akbar (perang maha besar)." Mendapat gertakan ini, Inggris dengan segera melupakan klaim "kebebasan berekspresi"nya, dan pementasan teater itu pun dibatalkan.
Tidak cukup sampai di situ, Sultan6 pun memanggil seluruh duta negara-negara Eropa yang ada di Daulah Khilafah Utsmaniyyah. Ketika mereka datang, sang khalifah membiarkan mereka menunggu berjam-jam di depan pintu kekhilafahan. Kemudian Sultan datang menemui mereka dengan berpakaian militer sambil menjinjing sepatu, lalu dengan penuh wibawa dan nada mengancam, ia berkata kepada mereka: "la in lam tantahi faronsa 'an fi'latiha, la anta'ilannaha bi jaisyil khilafah, kama anta'ilu hadzal hidza biyadii, fahkhrijuu qobbahakumullah" Artinya: "Seandainya Prancis tidak menghentikan tindakannya (pementasan drama yang menghina Rasulullah), niscaya aku kerahkan pasukan khilafah yang dengannya aku perlakukan mereka seperti sepatu yang ada ditanganku ini. Maka pergilah, semoga Allah SWT menimpakan keburukan kepada kalian".

Para duta itu pun segera menyampaikan kepada para pemimpin mereka, apa yang mereka dengar dan mereka saksikan dari sang khalifah. Terkejut mendengar acaman di atas, Ratu Inggris yang ketika itu sedang hamil, keguguran janinnya.



Betapa tidak, ancaman tegas tampak dalam ucapan sang Sultan. Al-inti'al artinya adalah Lubs an na'l (mengenakan sepatu). Dikatakan, inta'ala al-ardha, artinya saafara 'alaiha (berjalan di atasnya), atau wathi'aha (menginjakkan kaki di atasnya). Selain itu, sang Sultan tidak memandang bahwa tindakan penghinaan tadi, seandainyaa pementasan drama itu benar-benar terlaksana, hanya ulah salah seorang warga Prancis, tetapi ia menganggapnya sebagai kebiadaban yang dilakukan oleh institusi negara. Sehingga dengan perkataannya itu, tak ada ssatu negara pun yang bisa beralasan bahwa itu hanyalah tindakan makar warganya, apalagi berlindung di balik alasan kebebasan. Tak heran berselang tiga tahun setelah itu, yakni pada tahun 1893, ketika tersiar berita bahwa di Roma-Italia akan digelar sebuah pementasan drama berjudul "Muhammad at-Tsaniy". Pemerintah Italia langsung membatalkan rencana tersebut.


Jadi, meskipun Daulah Utsmaniyah berada dalam kondisi sekarat, namun Sultan Abdul Hamid II masih dihormati di kancah internasional, dan kata "jihad" mengintimidasi kekuatan besar Barat. Inilah intervensinya dalam rangka melindungi kepentingan umat Islam dalam urusan global. (Buletin Khilafah No. 15, 23 Juni 1989, Inggris dan Ar-Rayyah, Vol. 3, Ed. 4, April 1994).
Kehebatan Abdul Hamid diakui sendiri oleh penguasa Eropa seperti Raja Jerman Wilhelm II. Dia pernah berkata, "Aku telah menemui banyak raja dan penguasa sepanjang hidupku. Aku temukan mereka semua lebih lemah jika dibandingkan denganku, atau yang terkuat sekalipun adalah yang sebanding denganku. Namun, jika berhadapan dengan Abdul Hamid, aku merasa gentar." Wilhelm II memang pernah mengunjungi Abdul Hamid pada tahun 1898.

- Konspirasi Yahudi
Akibat dari peperangan di balkan, Bosnia dan Yunani telah dirampas dari Pemerintah Islam. Setelah kekalahan tersebut, barulah Sultan Abdul Hamid bisa mendapatkan dukungan umum dalam memecat Awni. Pengadilan menemukan Awni bersalah karena berkonspirasi menjatuh pemerintah dan membantu kekuasaan asing seperti Inggris.
Kejatuhan ini membuat semua pihak bersekongkol menjatuhkan Sultan, termasuk pihak Yahudi. Pada tahun 1901, seorang pemilik Bank Yahudi, Mizray Qraow dan 2 lagi pemimpin Yahudi berpengaruh mengunjungi Sultan Abdul Hamid dengan membawa penawaran:
Pertama, membayar semua hutang Pemerintahan Islam Utsmaniyyah. Kedua, membangun Angkatan Laut Pemerintahan Islam Utsmaniyyah3) 35 Juta Lira Emas tanpa bunga untuk membantu perkembangan Negara Islam Utsmaniyyah. Tawaran ini sebagai ganti jika,
1) Menerima Yahudi mengunjungi Palestina pada setiap saat yang mereka suka dan untuk tinggal berapa lamapun yang mereka inginkan "mengunjungi tempa t-tempat suci".
2) Yahudi diperbolehkan membangun pemukiman di tempat mereka tinggal di Palestina dan mereka menginginkan tempat yang letaknya dengan Baitul-Maqdis (al Quds)
Namun nampaknya Sultan Abdul Hamid enggan bertemu mereka sekalipun, apalagi menerima penawaran merreka. Ia mengirim utusan dan menjawab:

"Beritahu Yahudi-yahudi yang tidak beradab itu bahwa hutang-hutang Pemerintah Utsmaniyyah bukanlah sesuatu yang ingin dipermalukan, Prancis juga memiliki hutang-hutangnya dan itu tidak memberikan efek apapun kepadanya. Baitul-Maqdis menjadi bagian dari Bumi Islam ketika Umar ibn Al- Khattab mengambil kota itu dan aku tidak akan sekali-kali menghina diriku dalam sejarah dengan menjual Bumi suci ini kepada Yahudi dan aku tidak akan menodai tanggung-jawab dan amanah yang diberikan oleh ummah ini kepadaku. Biarlah Yahudi-yahudi itu menyimpan uang mereka, umat Islam Utsmaniyyah tidak akan bersembunyi di dalam kota-kota yang dibangun dengan uang musuh-musuh Islam. "
Sungguh sikap seorang pemimpin Islam yang belum bisa ditemukan di dunia saat ini. Hatta, itu dari pemimpin negeri-negeri Muslim sekalipun.

- Jihad dan politik ‘adu-domba’

Yahudi tidak berputus asa dengan kegagalan mempengaruhi Sultan Abdul Hamid. Pada akhir tahun yang sama, 1901, pendiri gerakan Zionis, Theodor Herzl, mengunjungi Istanbul dan mencoba bertemu dengan Sultan Abdul Hamid.
Namun Abdul Hamid enggan bertemu Hertzl dan mengirim stafnya dan menasehati Hertzl dengan mengatakan;
“Aku tidak dapat memberikan walau sejengkal dari tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku, ia adalah hak umat Islam. Umat Islam yang telah berjihad demi bumi ini dan mereka telah membasahinya dengan darah-darah mereka. Yahudi bisa menyimpan uang dan harta mereka. Jika Kekhalifahan Islam ini hancur pada suatu hari, mereka dapat mengambil Palestina tanpa biaya! Tetapi selagi aku masih hidup, aku lebih rela sebilah pedang merobek tubuhku daripada melihat bumix Palestina dikhianati dan dipisahkan dari kehikhilafahan Islam. Perpisahaan tanah Palestina adalah sesuatu yang tidak akan terjadi, Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”

Bayangkan, pendirian seorang pemimpin (Khalifah) ini disampaikan di saat-saat kekuasaannya sedang diambang kehancuran. Bagaimana jika tindakannya itu terjadi di masa-masa beliau masih kuat?

Kegagalan Yahudi merayu Sultan Hamid, membuat mereka berkolaborasi dengan Nagara-negara Eropa. Yahudi mendapatkan bantuan Inggris dan Prancis untuk mencapai impian mereka. Semenjak itu, Negara seperti Inggris dan Prancis bersiap menghancurkan pemerintah Islam Utsmaniyyah. Tetapi kata “jihad” masih tetap ditakuti dan membuat seluruh Eropa bergetar.

Maka Inggris kala itu memutuskan ide penggunakan kebijakan 'pecah belah’. Ini dilakukkan Inggris dengan mulai memberi dukungan kelompok-kelompok baru seperti “Turki Muda” yang dimotori oleh Mustafa Kemal Pasha. Kebodohan itu membuat umat tidak tahu lagi mana kawan dan mana lawan. Alih-alih membela Sultan, ia malah terkecoh dan bersekutu dengan penjajah, termasuk Zionis Yahudi yang telah ngebet ingin mencaplok Palestina.

Akhirnya, malam 27 April 1909 Sultan kedatangan tamu tak diundang. Kedatangan mereka di Istana Yildiz menjadi catatan sejarah yang tidak akan pernah terlupakan kaum Muslim seluruh dunia. Perwakilan 240 anggota Parlemen Utsmaniyyah, yang mengaku perwakilan kaum Muslim (di bawah tekanan Turki Muda) , ini sedang berusaha menggulingkan Sultan Abdul Hamid II dari kekuasaannya. Senator Syeikh Hamdi Afandi Mali bahkan mengeluarkan fatwa tentang penggulingan tersebut dan akhirnya disetujui oleh anggota senat yang lain.
Di antara bunyi fatwa Syeikh Hamdi adalah berikut;

"Jika pemimpin umat Islam mengambil kiat-kiat agama yang penting dari kitab-kitab hukum dan mengumpulkan kitab-kitab tersebut, memboroskan uang negara dan terlibat dengan perjanjian yang bertentangan dengan hukum Islam, membunuh, menangkap, membuang negeri dan rakyat tanpa alasan apapun, maka berjanjilah untuk tidak melakukannya lagi dan jika masih kelakukannya untuk menyakitkan kondisi umat Islam di seluruh dunia Islam maka pemimpin ini harus disingkirkan dari jabatannya. Jika penyingkirannya akan membawa kondisi yang lebih baik dari beliau terus kekal, maka ia memiliki pilihan apakah mengundurkan diri atau disingkirkan dari jabatan."

Sebuah fatwa yang aneh ditujukan pada seorang Sultan yang memiliki reputasi dan akhlaq yang baik.
Menariknya, empat utusan parlemen; Emmanuel Carasso, seorang Yahudi warga Italia dan wakil rakyat Salonika (Thessaloniki) di Parlemen Utsmaniyyah, melangkah masuk ke istana Yildiz. Turut bersamanya adalah Aram Efendi, wakil rakyat Armenia, Laz Arif Hikmet Pasha, anggota Dewan Senat yang juga panglima militer Utsmaniyyah, serta Arnavut Esat Toptani, wakil rakyat daerah Daraj di Meclis-i Mebusan.

Mereka akhirnya mengkudeta Sultan. “Negara telah memecat Anda!”
“Negara telah memecatku, itu tidak masalah,… tapi kenapa kalian membawa serta Yahudi ini masuk ke tempatku?” Spontan Sultan marah besar sambil menudingkan jarinya kepada Emmanuel Carasso.
Sultan kenal betul siapa Emmanuel Carasso itu. Dialah yang bersekongkol bersama Herzl ketika ingin mendapatkan izin menempatkan Yahudi di Palestina.

Tempat Yahudi yang kumuh

Malam itu, Sultan bersama para anggota keluarganya yang hanya mengenakan pakaian yang menempel di badan diangkut di tengah gelap gulita menuju ke Stasiun kereta api Sirkeci. Mereka digusur pergi meninggalkan bumi Khilafah, ke istana kumuh milik Yahudi di Salonika, tempat pengasingan negara sebelum seluruh khalifah dimusnahkan di tangan musuh Allah.
Khalifah terakhir umat Islam dan keluarganya itu dibuang ke Salonika, Yunani. Angin lesu bertiup bersama gerimis salju di malam itu. Pohon-pohon yang tinggal rangka, seakan turut sedih mengiringi tragedi memilukan itu.
Atas peristiwa ini, Sultan Abdul Hamid II mengungkap kegundahan hatinya yang dituangkan dalam surat kepada salah seorang gurunya Syeikh Mahmud Abu Shamad;

“…Saya meninggalkan kekhalifahan bukan karena suatu sebab tertentu, melainkan karena tipu daya dengan berbagai tekanan dan ancaman dari para tokoh organisasi yang dikenal dengan sebutan Cun Turk (Jeune Turk), sehingga dengan berat hati dan terpaksa saya meninggalkan kekhalifahan itu. Sebelumnya, organisasi ini telah mendesak saya berulang-ulang agar menyetujui dibentuknya sebuah negara nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina. Saya tetap tidak menyetujui permohonan beruntun dan bertubi-tubi yang memalukan ini. Akhirnya mereka menjanjikan uang sebesar 150 juta pounsterling emas.

Saya tetap dengan tegas menolak tawaran itu. Saya menjawab dengan mengatakan, “Seandainya kalian membayar dengan seluruh isi bumi ini, aku tidak akan menerima tawaran itu. Tiga puluh tahun lebih aku hidup mengabdi kepada kaum Muslimin dan kepada Islam itu sendiri. Aku tidak akan mencoreng lembaran sejarah Islam yang telah dirintis oleh nenek moyangku, para Sultan dan Khalifah Uthmaniah. Sekali lagi aku tidak akan menerima tawaran kalian.”

Setelah mendengar dan mengetahui sikap dari jawaban saya itu, mereka dengan kekuatan gerakan rahasianya memaksa saya menanggalkan kekhalifahan, dan mengancam akan mengasingkan saya di Salonika. Maka terpaksa saya menerima keputusan itu daripada menyetujui permintaan mereka.
Saya banyak bersyukur kepada Allah, karena saya menolak untuk mencoreng Daulah Uthmaniah, dan dunia Islam pada umumnya dengan noda abadi yang diakibatkan oleh berdirinya negeri Yahudi di tanah Palestina. Biarlah semua berlalu. Saya tidak bosan-bosan mengulang rasa syukur kepada Allah Ta’ala, yang telah menyelamatkan kita dari aib besar itu.

Saya rasa cukup di sini apa yang perlu saya sampaikan dan sudilah Anda dan segenap ikhwan menerima salam hormat saya. Guruku yang mulia. mungkin sudah terlalu banyak yang saya sampaikan. Harapan saya, semoga Anda beserta jama’ah yang anda bina bisa memaklumi semua itu.”
Dengan kerendahan hati, ia menyebut namanya dalam menutup surat yang dikirim pada 22 September 1909 itu dengan sebutan Abdul Hamid bin Abdul Majid, Pelayan Kaum Muslimin.
Setelah penyingkirannya, penulis-penulis Barat bersekongkol “menyerang” Sultan Abdul Hamid dan memberi legitimasi kudeta. Salah seorang dari mereka adalah John Haslib, dalam bukunya "The Red Sultan" (telah diterjemahkan ke beberapa bahasa termasuk bahasa Arab dan Turki), juga buku berbahasa Turki "iki mevrin perde arkasi - yazan: nafiz Tansu" oleh Ararat Yayinevi juga merupakan bagian dari propaganda seolah-olah 'Turki Muda' telah menyelamatkan Kekhalifahan Utsmaniyyah dari kehancuran. Ada juga penulis Arab-Kristen terkenal, Georgy Zaydan dalam bukunya, "Stories of the IslamicHistory- The Ottoman Revolution."

Semua buku-buku ini adalah penipuan dan kedok yang ditulis para musuh Islam. Buku-buku ini menggambarkan, seolah-olah Sultan Abdul Hamid sebagai seorang yang tenggelam dalam kemewahan dunia dan identik dengan wanita dan minuman kera. Sultan yang sangat tegas pada Yahudi ini digambarkan sebagai sosok pemimpin pemerintah yang dzalim atas musuh-musuh politik dan rakyatnya. Tentusaja, penipuan-penipuan ini tak mungkin tertegak karena sosok Sultan yang akan selalu terbukti sepanjang sejarah.

Setelah Sultan Abdul Hamid, muncullah beberapa pemimpin yang lemah. Mereka tidak mampu memerintah dan hilang daya mereka dengan mudah. Seperti yang diperkirakan oleh Sultan Abdul Hamid, Perang Dunia (PD) Pertama meletus dan bumi pemerintah Utsmaniyyah. Orang-orang Arab melawan Khalifah di Hijaz dengan bantuan Inggris dan Prancis untuk 'bebas' di bawah ini penjajahan 'penolong-penolong' mereka. Bumi Islam Palestina akhirnya “diserahkan” kepada Yahudi.
'Turki Muda’ mengambil-alih kekuasaan dan Mustafa Kamal Ataturk membubarkan resmi Khilafah Islam pada 1924. Pertama kalinya dalam sejarah umat Islam, kepemimpinan Islam yang bersatu sejak zaman Rasulullah SAW dan para Sahabat hilang. Perang Salib berakhir dengan kemenangan bagi Barat dan Yahudi.

Sultan Abdul Hami menghembuskan nafas terakhir dalam penjara Beylerbeyi pada 10 Februari1918. Kepergiannya diratapi seluruh penduduk Istanbul. Mereka baru sadar karena kebodohan mereka membiarkan Khilafah Utsmaniyyah dilumpuhkan setelah pencopotan jabatan khilafahnya.
Akibat kesalahan fatal itu runtuhlah institusi yang menaungi kaum Muslim dan pada 1948 berdirilah negara ilegal pembantai kaum Muslim Palestina, bernama Israel.
Mulai saat ini, janganlah umat lupa sejarah penting ini. Jangan pula lupa sejarah lainnya. Perang Bosnia, Perang Chechnya, Perang Kashmir, Perang Moro, Perang Iraq juga Perang Afganistan. Umat harus mulai sadar bahwa tanpa Islam yang miliki kekuatan, Islam bukan apa-apa. Tanpa kesatuan umat dan jihad, Islam hanya akan dipermainkan dan terus dalam kehinaan.

Marilah kita semua berdoa, agar di antara kita bisa dilahirkan anak-anak yang kelak menjadi pemimpin sekelas Sultan Abdul Hamid yang rela berdiri di tengah keagungan seluruh ummah. Seperti sunnah alam, mentari mungkin telah terbenam sementara, dan Insya-Allah akan segara terbit kembali. Seperti itulah sunnah kepemimpinan. Suatu saat, Allah akan menghadirkan kembali kedatangan “Abdul Hamid II muda” lain dari rahim kita


0 komentar:

Posting Komentar